Posted by : Rigen Suryadi Selasa, 29 Mei 2012


VIVAnews - Pemerintah akhirnya mengungkapkan penyebab kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100. Menteri Perhubungan EE Mangindaah menjelaskan secara langsung penyebab jatuhnya burung besi asal Rusia itu.

Di hadapan anggota Komisi V DPR itu, EE Mangindaan memaparkan kronologi kecelakaan yang terjadi pada Rabu 9 Mei 2012 tersebut. Menurut dia, sesuai izin yang diberikan, pada hari itu pesawat Sukhoi itu akan melakukan dua demo terbang, yaitu pada pukul 11.15 WIB dan 14.00 WIB.

"Pada penerbangan pertama, pesawat kembali dengan selamat ke Bandara Halim Perdanakusuma," kata EE Mangindaan dalam rapat yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 28 Mei 2012.

Mangindaan melanjutkan, pada penerbangan kedua, burung besi buatan Rusia itu akan melalui rute dari Halim Perdanakusuma ke Pelabuhan Ratu dan kembali ke Halim. Pesawat itu terbang pada ketinggian 10.000 kaki. Namun, sang pilot kemudian meminta izin untuk turun pada ketinggian 6.000 kaki. "Kemudian diizinkan," kata EE Mangindaan.

Pesawat itu lalu hilang kontak, dan kemudian ditemukan jatuh di Gunung Salak setelah menabrak tebing. Seluruh penumpangnya yang berjumlah 45 orang tewas.

Berikut kronologi detik-detik jatuhnya pesawat Sukhoi:
1. Pukul 14.10 WIB pesawat meminta ijin untuk start engine.
2. Pukul 14.21 WIB pesawat take off melalui runway 06 menuju ketinggian 10.000 kaki.
3. Pukul 14.24 WIB pesawat melakukan kontak dengan ATC Bandar Udara Sukarno-Hatta pada radial 200 Halim Perdanakusuma Very High Frequency Omnidirectional Range (HLM VOR).
4. Pukul 14.26 WIB pesawat meminta izin untuk turun ke ketinggian 6000 kaki.
5. Pukul 14.28 WIB pesawat meminta melakukan memutar 360 derajat orbit right di atas training area Atang Sanjaya.
6. Pukul 14.52 WIB ATC BSH memanggil pesawat karena tidak terlihat pada monitor radar.
7. Pukul 14.55 WIB STC BSH melaporkan kejadian hilangnya target pada ATS coordinator.
8. Pukul 15.35 WIB ditetapkan uncertainty phase.
9. Pukul 16.05 WIB ATC BSH menghubungi SAR.
10. Pukul 16.55 WIB ditetapkan kondisi alerting phase
11. Pukul 18.22 WIB ditetapkan kondisi destress phase karena bahan bakar dinyatakan habis.

Dalam rapat itu, pihak Air Traffic System (ATC) Angkasa Pura II pun mengungkapkan alasan memberi izin bagi pilot Alexandr Yablontsev turun dari ketinggian 10.000 ribu ke 6.000 kaki sesaat sebelum kecelakaan.

Direktur Utama Angkasa Pura II, Tri S Sukono menjelaskan petugas memberi izin karena area pada saat pesawat itu turun merupakan area yang bersih, tak ada lalu lintas pesawat maupun gunung.

Tri kemudian menceritakan, pada saat jatuh, pesawat nahas itu take off dari Halim Perdanakusuma dengan menggunakan runaway 24 menuju area sesuai dengan permintaan pilot yaitu dengan ketinggian 10.000 kaki.

Kemudian, saat akan kembali ke Halim Perdanakusuma dengan runaway 06 dengan ketinggian 10.000 kaki saat mendekati Bogor, pilot meminta turun menjadi 6.000 kaki dan di atas Atang Sanjaya. Kemudian ATC menyetujui permintaan itu.

"Karena area itu area training yang biasa digunakan latihan. Ada 360 penerbangan training di wilayah itu. Area itu yang memang di-declare area training dan dimungkinkan terbang 6.000 kaki bahkan tiga ribu lakukan manuver," kata Tri.

"Setelah pesawat Sukhoi tak terlihat di radar saat turun, 6 ribu feet clear untuk training. Jadi ATC, menurut kami, sudah lakukan tugas sebagaimana adanya," kata dia.

Dari segi cuaca, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan, saat peristiwa terjadi, cuaca di sekitar Gunung Salak dalam keadaan berawan. "Tidak ada cuaca signifikan yang dapat memengaruhi penerbangan," kata Kepala BMKG Sri Woro Buadiati Harijono.

Berdasarkan laporan dari Stasiun klimatologi Darmaga Bogor yang berjarak 18 kilometer dari lokasi jatuhnya pesawat, pada saat itu, cuaca berawan Cumulonimbus.

Cumulonimbus merupakan awan konvektif yang ketinggian dasar awan sekitar 600 meter dari permukaan tanah dan puncak awan dapat lebih dari 10 ribu meter. Awan ini biasanya menimbulkan hujan lebat dan angin kencang.

Sementara berdasarkan laporan dari Stasiun Klimatologi Atang Sanjaya, yang berjarak 19 kilometer dari lokasi kejadian, cuaca pada saat itu berawan Strato Cumulus.

Spekulasi Rusia
Penyebab kecelakaan Sukhoi hingga saat ini masih misteri. Muncul sejumlah spekulasi mengenai jatuhnya pesawat teranyar Sukhoi itu. Termasuk pihak Rusia.

Kalangan di Rusia menduga ada sabotase sehingga terjadi kecelakaan yang menewaskan 45 orang. Badan intelijen militer Rusia (GRU) dikabarkan sedang menyelidiki kemungkinan militer Amerika Serikat berada di balik kecelakaan pesawat Sukhoi tersebut. Mengutip sumber anonim dari badan intelijen militer Rusia, mereka telah lama melacak kerja Angkatan Udara AS di Bandara Jakarta.

"Kami tahu mereka memiliki peralatan khusus yang dapat memotong komunikasi, mengganggu sinyal dari darat atau mengganggu parameter kapal," kata seorang jenderal GRU tanpa mau disebutkan namanya kepada tabloid Komsomolskaya Pravda, Kamis 24 Mei 2012.

Spekulasi lainnya, kecelakaan itu dianggap sebagai sabotase industri. "Di sisi lain, kita tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa ini adalah sabotase yang disengaja untuk menurunkan industri pesawat kami di pasaran," kata sumber lain.

Ini bukan kali pertama Rusia curigai AS mensabotase pesawat buatan mereka. Pada Oktober lalu, seorang mantan pejabat juga menyalahkan radar Amerika di Alaska atas hilangnya pesawat penyelidikan antariksa Fobos Grunt.

Meski demikian, sejumlah ahli penerbangan Rusia menolak teori sabotase. Apapun teorinya, harus dibuktikan secara ilmiah berdasarkan fakta. "Semua teori yang dikemukakan saat ini cacat, kurang bukti, dan ada terlalu banyak rumor," kata Roman Gusarov, pengamat penerbangan Rusia sekaligus editor Avia.ru, seperti dimuat situs Christian Science Monitor.

Gusarov mengakui, cara pabrik Sukhoi mengatasi informasi terkait bencana di Indonesia sangat buruk. "Bahkan sejak awal, mereka mengembangkan pesawat, seolah-olah itu adalah jet tempur rahasia ketimbang pesawat sipil," kata Gusarov. Menurut dia, mencari kambing hitam seakan ada kekuatan eksternal yang memicu tragedi, adalah tak bijak.

Sementara, pakar penerbangan Rusia lain, Oleg Pantaleyev mengatakan, belum ada bukti kuat menuduh AS melakukan sabotase untuk merusak pasar SSJ-100.

Apalagi, AS tak memproduksi pesawat sejenis. Bahkan, sejumlah perusahaan pesawat asing, termasuk Boeing ikut membantu pengembangan SSJ-100.

"Investigasi kecelakaan sulit dilakukan karena bagian dari kotak hitam belum ditemukan. Medan yang sulit membuat pencarian sangat berat," kata dia. "Dibutuhkan waktu untuk membuktikan kasus yang penuh kompleksitas ini, jangan berharap sekonyong-konyong ada kesimpulan."

Belum ada tanggapan dari pihak AS soal tudingan itu. Namun, ini bukan kali pertamanya Rusia menuduh AS melakukan sabotase.

Namun, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memilih untuk tidak mau menanggapi tudingan Rusia itu. KNKT masih berkonsentrasi mengungkap isi rekaman dalam Cockpit Voice Recorder (CVR) yang merupakan bagian dari kotak hitam. Meski bagian lainnya yakni Flight Data Recorder (FDR) belum juga ditemukan.

Kepala Sub Komite Penyelidikan Kecelakaan Transportasi Udara KNKT, Masruri menolak berkomentar terkait tudingan intelijen Rusia yang menyatakan sabotase intelijen Amerika Serikat sebagai penyebab kecelakaan itu.

"Kalau itu saya tidak bisa menjelaskan. Selain penyelidikan belum selesai, memang saya tidak punya kapasitas menjawabnya," ujar Masruri dalam perbincangan dengan VIVAnews.

"Kami tahu mereka memiliki peralatan khusus yang dapat memotong komunikasi, mengganggu sinyal dari darat atau mengganggu parameter kapal," kata seorang jenderal GRU tanpa mau disebutkan namanya. Bagi KNKT, spekulasi-spekulasi itu lebih baik tidak ditanggapi. "Kami tidak membahas soal itu," kata Masruri lagi.

Meski demikian, hingga misi pencarian berakhir, tim tak kunjung menemukan FDR. Setidaknya begitu penjelasan Tim SAR. Padahal tim sudah bekerja sangat keras. Radius satu kilometer dari dinding maut Gunung Salak itu sudah disisir habis. Beberapa hari belakangan, tim pencarian memang fokus mencari FDR itu. "Jadi operasi pencarian FDR ini dinyatakan ditutup," kata Kepala Basarnas, Marsekal Madya Daryatmo, di Pasir Pogor, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Senin 21 Mei 2012.

Operasi berhenti tanpa menemukan FDR kemudian menimbulkan sak wasangka. Ada yang menduga bahwa alat itu sudah ditangan tim Rusia. Alat FDR itu merupakan bagian dari black box, yang diharapkan bisa mengungkap sebab musabab kecelakaan maut ini. Spekulasi berkembang bahwa Rusia, yang sedang membangun industri penerbangan sipil, sangat berkepentingan dengan alat itu.

Tapi dugaan itu sudah dibantah keras Basarnas. Tim Rusia memang terjun juga ke Gunung Salak. Tapi, "Mereka juga tidak menemukan FDR itu," kata Direktur Operasional Basarnas, Sunarbowo kepada VIVAnews, Senin 21 Mei 2012.

Tim Rusia tidak mungkin menyembunyikan alat itu. Sebab, kata Sunarbowo, tim yang datang dengan pesawat khusus itu bekerja di bawah pengawasan tim khusus Indonesia. "Kalau mau bergerak mereka minta bantuan kita," tutur Sunarbowo. Basarnas meminta publik agar tidak menaruh curiga dengan tim Rusia. "Itu dugaan yang berlebihan. Karena setiap apa yang mereka kerjakan, selalu kami kawal."

Menunggu Santunan
Setelah melakukan pencarian dan identifikasi hingga kurang lebih 2 minggu, sebanyak 45 korban kecelakaan Sukhoi akhirnya teridentifikasi. Jumlah korban tersebut sesuai dengan pengumpulan data ante mortem (ciri-ciri korban).

"Kami menerima 50 laporan waktu itu, namun ada yang rangkap dua. Jadi ada nomor-nomor tertentu itu kita skip karena ada lima yang dilaporkan dua kali kemarin, tapi tetap jumlahnya 45," ujar Direktur Eksekutif DVI Indonesia Komisaris Besar Anton Castelani di RS Polri Kramatjati, Jakarta.

Tim DVI berjumlah 150 personel yang dibagi menjadi beberapa tim ante mortem dan post mortem. Tim DVI merampungkan tugas lebih awal dari jadwal. Tim bertugas selama 24 jam nonstop dibagi menjadi tiga shift.

"Tim DVI merampungkan tugas lebih awal dari jadwal yang telah ditentukan dengan hasil akrurasi mencapai 100 persen," tuturnya. (Lihat daftar korban di sini).

Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Alexander Ivanov, mengatakan seluruh korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 akan menerima asuransi sesuai peraturan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.

Pihaknya akan memberi santunan sebesar Rp1,25 miliar kepada keluarga korban sebagaimana tertuang dalam peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang ganti rugi korban kecelakaan angkutan udara.

Namun, meski sudah teridentifikasi, saat ini pihak keluarga masih menunggu janji dari Sukhoi memberikan santunan. Perusahaan Sukhoi pun belum memutuskan untuk memberi santunan sebesar Rp1,25 miliar kepada keluarga korban, selain itu besarnya santunan masih dalam tahap pengkajian.

Demikian disampaikan oleh Sunaryo dari PT Trimarga Rekatama--agen penyalur Sukhoi di Indonesia. "Belum diputuskan," kata Sunaryo saat berbincang dengan VIVAnews.

Menurut Sunaryo, mungkin pihak Sukhoi telah berbicara dengan Menteri Perhubungan terkait santunan itu. Dalam pembicaraan itu, Sukhoi bisa saja bersedia memberi santunan seperti aturan yang berlaku di Indonesia. "Dan Menhub memang mengatakan demikian, tapi belum ada hitam di atas putih," ujar ia.

"Semuanya masih digodog oleh Sukhoi. Saya belum berani berbicara kalau Sukhoi belum menyatakan iya, karena sampai ditelepon ini belum ada hitam di atas putih. Tapi semua diusahakan." Sementara, tutur Sunaryo, yang telah dia umumkan adalah santunan sebesar US$50.000 untuk keluarga korban.

Sunaryo mengatakan, masalah santunan itu hingga kini masih dalam proses pembahasan. "Secepatnya, mudah-mudahan segera selesai. Sehingga saya tidak dikejar-kejar wartawan dan keluarga korban. Saya harus mematuhi pihak Sukhoi," katanya.

source

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 My Note - Shiroi - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -